Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 telah ditetapkan
pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik;
|
|||
|
|
b.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.22/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 telah ditetapkan Norma,
Standar, Prosedur, dan Kriteria Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
secara Elektronik Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
|
|||
|
|
c.
|
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 106, Pasal 107
ayat (4), Pasal 110 ayat (3), Pasal 111 ayat (3), Pasal 112 ayat (3), Pasal 113 ayat (3), Pasal 114 ayat (2),
dan Pasal 115 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, telah
ditetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.13/MENLHK-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan;
|
|||
|
|
d.
|
bahwa untuk percepatan dan peningkatan penanaman modal serta berusaha
perlu mengganti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.13/MENLHK-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan;
|
|||
|
|
e.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf
d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang
Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan;
|
|||
Mengingat
|
:
|
1.
|
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3419);
|
|||
|
|
2.
|
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
4412);
|
|||
|
|
3.
|
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4724);
|
|||
|
|
4.
|
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4076);
|
|||
|
|
5.
|
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5432);
|
|||
|
|
6.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
|
|||
|
|
7.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679);
|
|||
|
|
8.
|
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5601);
|
|||
|
|
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4814);
|
|||
|
|
10.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5285);
|
|||
|
|
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 36, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5506);
|
|||
|
|
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5887);
|
|||
|
|
13.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215);
|
|||
|
|
14.
|
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 97);
|
|||
|
|
15.
|
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17);
|
|||
|
|
16.
|
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/MENHUT- II/2014 tentang
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Kegiatan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 508);
|
|||
|
|
17.
|
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
713);
|
|||
|
|
18.
|
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.
32/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Hutan Hak
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1025);
|
|||
|
|
19.
|
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.42/MENLHK-SETJEN/2015 tentang
Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal
dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1247), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.58/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.42/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan
Kayu yang Berasal dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1063);
|
|||
|
|
20.
|
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.43/MENLHK-SETJEN/2015 tentang
Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal
dari Hutan Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
1248) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.60/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.43/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan
Kayu yang Berasal dari Hutan Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 1064);
|
|||
|
|
21.
|
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.30/MENLHK/SETJEN/PHPL.3/3/2016 tentang Penilaian Kinerja Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang
Izin, Hak Pengelolaan, atau pada Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 976);
|
|||
|
|
22.
|
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/PHPL.3/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 976);
|
|||
|
|
23.
|
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.85/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2016 tentang Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Hasil
Budidaya yang Berasal dari Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1765)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.48/MENLHK/SETJEN/KUM.1/ 8/2017 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.85/MENLHK/SETJEN/KUM-1/11/2016 tentang
Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Hasil Budidaya yang Berasal dari Hutan Hak
(Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 1130);
|
|||
|
|
24.
|
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7/2017 tentang
Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi untuk Klasifikasi Usaha
Industri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1089);
|
|||
|
|
25.
|
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan
Kriteria Pelayanan Perizinan Terintegrasi secara Elektronik Lingkup
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 927);
|
|||
MEMUTUSKAN
|
||||||
MENETAPKAN
|
:
|
PERATURAN MENTERI
LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TENTANG IZIN USAHA
INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN.
|
||||
BAB I KETENTUAN UMUM
|
||||||
Pasal 1
|
||||||
Dalam
Peraturan ini yang dimaksud dengan :
|
||||||
1.
|
Perizinan Berusaha adalah persetujuan yang diberikan kepada Pelaku
Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan diberikan dalam bentuk
persetujuan yang dituangkan dalam bentuk surat/keputusan atau pemenuhan persyaratan (checklist).
|
|||||
2.
|
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektonik atau Online Single Submission yang
selanjutnya disingkat OSS adalah perizinan berusaha yang diberikan oleh
Menteri/Kepala Lembaga, gubernur dan bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha
melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
|
|||||
3.
|
Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut
Lembaga OSS adalah Lembaga Pemerintah non Kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
|
|||||
4.
|
Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah identitas
Pelaku Usaha dalam rangka
pelaksanaan kegiatan berusaha sesuai
bidangnya.
|
|||||
5.
|
Pelaku Usaha adalah perseorangan atau
non perseorangan yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan pada
bidang tertentu.
|
|||||
6.
|
Izin Usaha adalah
izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama
Menteri atau gubernur, setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran dan untuk
memulai usaha dan/atau kegiatan sampai
sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan
dan/atau Komitmen.
|
|||||
7.
|
Komitmen adalah pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan Izin
Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.
|
|||||
8.
|
Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
computer atau sistem elektronik,
tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda,
angka, kode akses,
simbol atau perforasi yang memiliki
makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
|
|||||
9.
|
Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan yang selanjutnya disingkat
IUIPHH adalah izin usaha komersial atau izin operasional yang diberikan
kepada Pelaku Usaha untuk mengolah hasil hutan menjadi barang jadi atau
barang setengah jadi, yang dapat berupa Izin Usaha Industri Primer Hasil
Hutan Kayu (IUIPHHK) atau Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK).
|
|||||
10
|
Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat
IUIPHHK adalah izin untuk mengolah kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih
menjadi barang setengah jadi atau barang jadi
pada lokasi tertentu yang
diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang.
|
|||||
11.
|
Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya
disingkat IUIPHHBK adalah izin untuk mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi
barang setengah jadi atau barang jadi pada lokasi tertentu yang diberikan
kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang.
|
|||||
12.
|
Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK
adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang
setengah jadi atau barang jadi.
|
|||||
13.
|
Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHBK adalah
pengolahan hasil hutan berupa bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau
barang jadi.
|
|||||
14.
|
Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu Skala Kecil adalah IPHHBK yang
mempekerjakan paling banyak 19 (sembilan belas) orang tenaga kerja dan
memiliki nilai investasi kurang dari 1 (satu) milyar rupiah tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha.
|
|||||
15.
|
Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu Skala Menengah adalah IPHHBK yang memenuhi ketentuan mempekerjakan paling
banyak 19 (sembilan belas) orang
tenaga kerja dan memiliki nilai investasi paling sedikit 1 (satu) milyar
rupiah atau mempekerjakan paling sedikit
20 (dua puluh) orang tenaga kerja dan memiliki nilai
investasi paling banyak 15 (lima belas) milyar rupiah.
|
|||||
16.
|
Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu Skala Besar adalah IPHHBK yang
mempekerjakan paling sedikit 20 (dua puluh) orang tenaga kerja dan memiliki
nilai investasi lebih dari 15 (lima belas) milyar rupiah.
|
|||||
17.
|
Kapasitas Produksi adalah jumlah atau kemampuan produksi paling banyak
setiap tahun yang diizinkan berdasarkan izin dari pejabat yang berwenang.
|
|||||
18.
|
Jenis Industri adalah bagian suatu cabang industri yang mempunyai ciri
khusus yang sama dan/atau hasilnya bersifat akhir dalam proses produksi.
|
|||||
19.
|
Mesin Utama Produksi adalah mesin-mesin
produksi pada jenis industri tertentu yang berpengaruh langsung
terhadap kapasitas produksi.
|
|||||
20.
|
Perluasan IUIPHH adalah peningkatan
kapasitas produksi dan/atau penambahan jenis industri dan/atau
penambahan ragam produk yang mengakibatkan penambahan kebutuhan bahan baku.
|
|||||
21.
|
Perubahan Komposisi Ragam Produk adalah penambahan dan/atau pengurangan kapasitas
produksi dari ragam produk yang telah ditetapkan dalam IUIPHH, atau
penambahan ragam produk baru sepanjang ragam produk baru merupakan
simpul/bagian dari rangkaian proses produksi ragam produk yang telah
ditetapkan dalam IUIPHH serta tidak menambah total kapasitas produksi dan
total kebutuhan bahan baku.
|
|||||
22.
|
Perubahan Penggunaan Mesin Utama Produksi adalah penggantian dan/atau
penambahan mesin dan/atau pengurangan mesin pada jenis industri dan ragam
produk yang telah ditetapkan dalam IUIPHH dengan tujuan untuk
efisiensi, peremajaan, diversifikasi bahan baku, serta untuk pengolahan
limbah/sisa produksi, tanpa menambah
kebutuhan bahan baku dan kapasitas produksi.
|
|||||
23.
|
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat
IUPHHK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
kayu yang dapat berupa IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, dan IUPHHK-HTR.
|
|||||
24.
|
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam yang
selanjutnya disingkat IUPHHK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan alam pada hutan produksi
melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.
|
|||||
25.
|
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri
yang selanjutnya disingkat IUPHHK- HTI adalah izin usaha yang diberikan untuk
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan tanaman pada hutan
produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan,
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
|
|||||
26.
|
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat yang
selanjutnya disingkat IUPHHK- HTR adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
kayu dan hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada
kelompok masyarakat atau perorangan dengan menerapkan teknik budidaya tanaman
yang sesuai tapaknya untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan.
|
|||||
27.
|
Hutan Hak/Hutan Rakyat adalah hutan yang berada
pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
|
|||||
28.
|
Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
|
|||||
29.
|
Pengelola Hutan adalah hak pengelolaan hutan yang didapat berdasarkan
penugasan yang ditetapkan oleh Menteri sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan.
|
|||||
30.
|
Limbah Pemanenan adalah semua jenis kayu sisa pembagian batang berupa
tunggak, kayu cacat/busuk hati/gerowong dengan reduksi di atas 40% (empat
puluh persen), cabang, dan ranting yang tertinggal di hutan.
|
|||||
31.
|
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam pada
Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHBK-HA adalah izin usaha yang
diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari hutan alam pada
hutan produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan, perlindungan,
pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
|
|||||
32.
|
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman pada
Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang
diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari hutan tanaman pada
hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan,
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran hasil.
|
|||||
33.
|
Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah izin untuk mengambil
hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan produksi yang
dapat berupa rotan, madu, buah-buahan,
getah-getahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu.
|
|||||
34.
|
Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan
guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar besarnya
kesejahteraan masyarakat Desa.
|
|||||
35.
|
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk
memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku
pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah
tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.
|
|||||
36.
|
Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang Pelaku
Usaha yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat
memperoleh Izin Usaha dan/atau Kegiatan.
|
|||||
37
|
Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut IMB adalah
perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat
bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan
teknis yang berlaku.
|
|||||
38.
|
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
|
|||||
39.
|
Gubernur adalah Kepala Daerah yang memimpin pelaksanaan penyelenggaran
urusan pemerintahan daerah provinsi
yang menjadi kewenangannya.
|
|||||
40.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan
tanggung jawab di bidang pengelolaan hutan produksi lestari.
|
|||||
41.
|
Direktur adalah Direktur yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang pengolahan dan pemasaran hasil hutan.
|
|||||
42.
|
Dinas Provinsi
adalah dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di
wilayah Provinsi.
|
|||||
43.
|
Balai adalah
unit pelaksana teknis yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Direktur Jenderal.
|
|||||
44.
|
Cabang Dinas Kehutanan Provinsi yang selanjutnya disebut CDK adalah
satuan organisasi yang secara langsung melaksanakan kegiatan teknis bidang
pemanfaatan hasil hutan atau dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas pokok dinas.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 2 Pengaturan
|
||||||
IUIPHH bertujuan untuk:
|
||||||
a.
|
Memberikan
kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam pengurusan
perizinan berusaha; dan
|
|||||
b.
|
Memberikan kemudahan dan kepastian bagi Pelaku Usaha dalam melaksanakan usaha.
|
|||||
Pasal 3
|
||||||
Ruang Lingkup Pengaturan Ruang lingkup pengaturan IUIPHH, terdiri atas:
|
||||||
a.
|
tata cara permohonan izin;
|
|||||
b.
|
pemenuhan Komitmen;
|
|||||
c.
|
Permohonan perluasan dan perubahan (addendum) IUIPHH;
|
|||||
d.
|
realisasi
pembangunan atau perluasan Industri Primer Hasil Hutan (IPHH);
|
|||||
e.
|
masa berlaku IUIPHH;
|
|||||
f.
|
perubahan
komposisi dan perubahan penggunaan mesin utama;
|
|||||
g.
|
pengawasan dan pengendalian; dan
|
|||||
h.
|
sanksi.
|
|||||
|
|
|||||
BAB II TATA CARA PERMOHONAN IZIN
|
||||||
Bagian Kesatu Umum
|
||||||
Paragraf 1 IPHH
|
||||||
Pasal 4
|
||||||
(1)
|
IPHH terdiri atas:
|
|||||
|
|
a.
|
IPHHK; dan
|
|||
|
|
b.
|
IPHHBK.
|
|||
(2)
|
IPHHK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas Jenis Industri:
|
|||||
|
|
a.
|
Penggergajian Kayu dan/atau Pengawetan Kayu dengan ragam produk yaitu
kayu gergajian dan/atau palet kayu;
|
|||
|
|
b.
|
Panel Kayu dengan ragam produk yaitu veneer, kayu lapis/plywood,
Laminated Veneer Lumber (LVL), plywood
faced bamboo, barecore, blockboard, particle
board, fibreboard dan/atau jenis panel
kayu lainnya;
|
|||
|
|
c.
|
Wood Chips dengan ragam
produk yaitu serpih kayu; dan
|
|||
|
|
d.
|
Bioenergi berbasis kayu dengan ragam produk yaitu wood pellet, arang kayu, biofuel,
biogas dan/atau bioenergi lainnya.
|
|||
(3)
|
IPHHBK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas Jenis Industri:
|
|||||
|
|
a.
|
Pengawetan Rotan, Bambu, dan sejenisnya;
|
|||
|
|
b.
|
Pengolahan Rotan, Bambu, dan sejenisnya;
|
|||
|
|
c.
|
Pengolahan Pati, Tepung, Lemak dan sejenisnya;
|
|||
|
|
d.
|
Pengolahan Getah, Resin, dan sejenisnya;
|
|||
|
|
e.
|
Pengolahan Biji-bijian;
|
|||
|
|
f.
|
Pengolahan Madu;
|
|||
|
|
g.
|
Pengolahan Nira;
|
|||
|
|
h.
|
Minyak Atsiri; dan/atau
|
|||
|
|
i
|
Industri Karet Remah (Crumb Rubber).
|
|||
(4)
|
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) atas Jenis Industri
dan/atau ragam produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(5)
|
IPHH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan bahan baku
dari sumber yang sah dan dapat terintegrasi dengan industri lanjutan.
|
|||||
(6)
|
Bahan baku hasil hutan kayu dari sumber yang sah sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), untuk IPHHK dapat
berasal dari IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK- HTR, IUPHKm pada hutan produksi,
HPHD pada hutan produksi, Pengelola Hutan, Hutan Hak/Hutan Rakyat hasil
budidaya, Hutan Adat dengan fungsi produksi, perkebunan, dan/atau Impor
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(7)
|
Bahan baku hasil hutan bukan kayu
dari sumber yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), untuk IPHHBK dapat berasal dari IUPHHBK, IUPHHK yang berupa produk
ikutan, IUPHHBK-HT, Pengelola Hutan, Hasil Kegiatan Rehabilitasi, Izin
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu, IUPHKm, HPHD, dan/atau Hutan Adat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
|
|||||
(8)
|
IPHHK dapat menggunakan bahan baku kayu olahan setengah jadi dari IPHHK
lain yang sah.
|
|||||
(9)
|
Industri lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), wajib memperoleh
Izin Usaha dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf
2 IUIPHH
|
||||||
Pasal 5
|
||||||
(1)
|
Setiap kegiatan usaha IPHH wajib
memiliki IUIPHH.
|
|||||
(2)
|
Jenis IUIPHH terdiri atas:
|
|||||
|
|
a.
|
IUIPHHK; dan
|
|||
|
|
b.
|
IUIPHHBK.
|
|||
(3)
|
IUIPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terbagi berdasarkan
kapasitas produksi, yaitu:
|
|||||
|
|
a.
|
IUIPHHK
dengan Kapasitas Produksi 6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun atau lebih; dan
|
|||
|
|
b.
|
IUIPHHK dengan Kapasitas Produksi sampai dengan kurang dari 6.000 (enam
ribu) meter kubik per tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
(4)
|
IUIPHHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terbagi
berdasarkan skala industri, yaitu:
|
|||||
|
|
a.
|
IUIPHHBK Skala Kecil;
|
|||
|
|
b.
|
IUIPHHBK Skala Menengah; dan
|
|||
|
|
c.
|
IUIPHHBK Skala Besar.
|
|||
Pasal 6
|
||||||
(1)
|
IUIPHH dapat diberikan kepada pemegang IUPHHK, IUPHHBK, Pengelola
Hutan, IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi pada areal
kerjanya.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal IUIPHHK pada areal kerja IUPHHK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hanya diberikan kepada IUPHHK yang bersertifikat Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (PHPL) dengan Predikat Baik, kecuali jenis bioenergi
berbasis kayu tanaman berdaur pendek kurang dari 5 (lima) tahun.
|
|||||
(3)
|
Pengolahan bahan baku kayu atau hasil hutan bukan
kayu pada IUIPHH dalam areal kerjanya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib bersumber dari IUPHHK, IUPHHBK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan
produksi atau HPHD pada hutan produksi yang bersangkutan.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal IUIPHHK pada areal IUPHHK-HA, dapat mengolah kayu hasil
budidaya IUPHHK-HT/HTR, IUPHKm pada Hutan Produksi atau HPHD pada Hutan
Produksi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing kayu produksi hutan tanaman.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal IUIPHHK pada areal IUPHHK-HT/HTR, IUPHKm pada Hutan Produksi
atau HPHD pada Hutan Produksi, hanya mengolah kayu hasil budidaya sesuai
dengan sistem silvikultur yang ditetapkan.
|
|||||
(6)
|
Dalam hal IUIPHHBK pada areal IUPHHBK, dapat mengolah hasil hutan bukan
kayu yang berupa hasil hutan ikutan dari IUPHHK, IUPHKm pada Hutan
Produksi atau HPHD pada Hutan Produksi.
|
|||||
Bagian Kedua Kewenangan Pemberian
IUIPHH
|
||||||
Pasal 7
|
||||||
(1)
|
Pemberian IUIPHH oleh Menteri yang penerbitannya dilakukan melalui
Lembaga OSS, terdiri atas:
|
|||||
|
|
a.
|
IUIPHHK Kapasitas Produksi 6.000 (enam
ribu) meter kubik per tahun atau lebih;
|
|||
|
|
b.
|
IUIPHHK pada areal IUPHHK atau Pengelola Hutan atau IUPHKm pada hutan
produksi atau HPHD pada hutan produksi;
|
|||
|
|
c.
|
IUIPHHK jenis industri bioenergi ragam produkbiofuel dan/atau biogas; dan
|
|||
|
|
d.
|
IUIPHHBK pada areal IUPHHK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan produksi atau
HPHD pada hutan produksi.
|
|||
(2)
|
Pemberian IUIPHH oleh Gubernur yang penerbitannya dilakukan melalui
Lembaga OSS, terdiri atas:
|
|||||
|
|
a.
|
IUIPHHK Kapasitas Produksi kurang dari
6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun;
|
|||
|
|
b.
|
IUIPHHBK; dan
|
|||
|
|
c.
|
IUIPHHBK pada areal IUPHHBK.
|
|||
(3)
|
Pemberian IUIPHH oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
|
|||||
|
|
a.
|
IUIPHHK
Kapasitas Produksi kurang dari 2.000 (dua ribu) meter kubik per tahun;
|
|||
|
|
b.
|
IUIPHHBK skala kecil dan menengah; atau
|
|||
|
|
c.
|
IUIPHHBK skala
kecil dan menengah pada areal IUPHHBK, dapat didelegasikan kepada Bupati/Wali
Kota melalui Tugas Pembantuan.
|
|||
(4)
|
Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(5)
|
Pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh Unit Pelaksana
Teknis Dinas Daerah kabupaten/kota yang ditunjuk oleh Bupati/Wali Kota.
|
|||||
Bagian Ketiga Tata Cara Permohonan
IUIPHH
|
||||||
Pasal 8
|
||||||
(1)
|
Permohonan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, diajukan oleh:
|
|||||
|
|
a.
|
Pelaku Usaha perseorangan; atau
|
|||
|
|
b.
|
Pelaku Usaha non perseorangan.
|
|||
(2)
|
Pelaku Usaha perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan orang perorangan penduduk Indonesia yang cakap untuk bertindak dan
melakukan perbuatan hukum.
|
|||||
(3)
|
Pelaku Usaha non perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b terdiri atas:
|
|||||
|
|
a.
|
Koperasi;
|
|||
|
|
b.
|
BUM Desa;
|
|||
|
|
c.
|
BUMD;
|
|||
|
|
d.
|
BUMN;
|
|||
|
|
e.
|
BUMS Indonesia; atau
|
|||
|
|
f.
|
Pengelola Hutan yang telah menerapkan
PPK-BLUD.
|
|||
(4)
|
Dalam hal IUIPHHK jenis penggergajian kayu dan/atau bioenergi ragam
produk arang kayu Kapasitas Produksi sampai dengan 2.000 (dua ribu) meter
kubik per tahun atau IUIPHHBK Skala Kecil, pemohon yang dapat mengajukan
terdiri atas:
|
|||||
|
|
a.
|
Perseorangan;
|
|||
|
|
b.
|
Koperasi; atau
|
|||
|
|
c.
|
BUM-Desa.
|
|||
Pasal 9
|
||||||
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 merupakan Pelaku Usaha yang
telah memperoleh NIB yang diterbitkan oleh Lembaga OSS.
|
||||||
Pasal 10
|
||||||
(1)
|
Permohonan IUIPHH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diajukan kepada Menteri atau
Gubernur sesuai dengan kewenangannya melalui Lembaga OSS dilengkapi
persyaratan.
|
|||||
(2)
|
Penyampaian permohonan dan persyaratan permohonan kepada Lembaga
OSS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui
sistem elektronik yang terintegrasi.
|
|||||
(3)
|
Format permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||
|
|
|||||
Bagian Keempat Persyaratan
Permohonan
|
||||||
Pasal 11
|
||||||
Persyaratan
permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) berupa:
|
||||||
|
|
a.
|
Pernyataan Komitmen; dan
|
|||
|
|
b.
|
Persyaratan Teknis.
|
|||
Pasal 12
|
||||||
(1)
|
Pernyataan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a,
merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk melengkapi:
|
|||||
|
|
a.
|
Izin Lokasi;
|
|||
|
|
b.
|
Izin Lingkungan dan dokumen AMDAL atau
UKL-UPL; dan/atau
|
|||
|
|
c.
|
Izin Mendirikan Bangunan.
|
|||
(2)
|
Pernyataan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat(1)merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan Izin
Usaha (IMB).
|
|||||
(3)
|
Dalam hal pemohon telah memiliki prasarana industri atau Industri
Primer Hasil Hutan pada areal IUPHHK, IUPHHBK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada
hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi, persyaratan pernyataan Komitmen
Izin Lokasi dan IMB tidak diperlukan.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal permohonan IUIPHH pada areal IUPHHK atau IUPHHBK, persyaratan
komitmen berupa Perubahan Izin Lingkungan IUPHHK atau IUPHHBK yang
bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4)
oleh perseorangan, koperasi masyarakat setempat, atau BUM-Desa setempat untuk
IPHH berlokasi pada areal Pengelola
Hutan atau yang menggunakan bahan baku seluruhnya bersumber dari Hutan
Hak/Hutan Rakyat hasil budidaya, persyaratan komitmen berupa Izin Lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b diganti dengan Surat
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL).
|
|||||
Pasal 13
|
||||||
(1)
|
Persyaratan Teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 huruf b berupa dokumen
proposal teknis kegiatan usaha IPHH
yang telah memperoleh persetujuan Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala
KPH atau Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal permohonan IUIPHH berada di dalam areal kerja IUPHH,
Persyaratan Teknis disertai dengan Izin Lingkungan IUPHH yang bersangkutan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Format dokumen proposal teknis kegiatan usaha IPHHK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14
|
||||||
(1)
|
Persyaratan Teknis berupa dokumen proposal teknis kegiatan usaha IPHHK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), sebelum disampaikan kepada
Lembaga OSS terlebih dahulu disampaikan kepada:
|
|||||
|
|
a.
|
Direktur, untuk:
|
|||
|
|
|
1.
|
IPHHK Kapasitas Produksi 6.000 (enam ribu) meter kubik atau lebih;
|
||
|
|
|
2.
|
IPHHK yang berlokasi di dalam areal IUPHHK, Pengelola Hutan, IUPHKm
pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi;
|
||
|
|
|
3.
|
IPHHBK di dalam areal IUPHHK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan
produksi atau HPHD pada hutan produksi;
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
Kepala Dinas Provinsi, untuk:
|
|||
|
|
|
1.
|
IPHHK Kapasitas Produksi sampai dengan kurang dari 6.000 (enam ribu)
meter kubik per tahun;
|
||
|
|
|
2.
|
IPHHBK; dan
|
||
|
|
|
3.
|
IPHHBK di dalam areal IUPHHBK;
|
||
|
|
c.
|
Kepala KPH dalam hal Kepala Dinas Provinsi melimpahkan kewenangan
pemberian persetujuan dokumen proposal teknis kegiatan usaha IPHH untuk IPHHK Kapasitas Produksi kurang dari
6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun untuk jenis industri bioenergi ragam
produk arang kayu dan IPHHBK skala kecil dan menengah yang berlokasi di dalam
areal pengelola hutan, IPHHK penggergajian kayu Kapasitas Produksi sampai
dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per tahun dan IPHHBK skala kecil dan
menengah di luar Pulau Jawa dan Pulau
Madura; atau
|
|||
|
|
d.
|
Kepala CDK dalam hal Kepala Dinas Provinsi melimpahkan kewenangan
pemberian persetujuan dokumen proposal teknis kegiatan usaha IPHH untuk IPHHK penggergajian kayu
Kapasitas Produksi sampai dengan 2.000
(dua ribu) meter kubik per tahun dan IPHHBK skala kecil dan menengah di Pulau
Jawa dan Pulau Madura.
|
|||
(2)
|
Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH atau Kepala CDK sesuai
dengan kewenangannya setelah menerima Dokumen Proposal Teknis, melakukan pemeriksaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
|
|||||
(3)
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
apabila tidak terdapat perbaikan, Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH
atau Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan dokumen
proposal teknis.
|
|||||
(4)
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
apabila terdapat perbaikan, Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH atau
Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya menyampaikan hasil pemeriksaan
dimaksud kepada pelaku usaha.
|
|||||
(5)
|
Pelaku Usaha wajib melakukan perbaikan dokumen proposal teknis dan
menyampaikannya kembali kepada Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH
atau Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
diterimanya hasil pemeriksaan.
|
|||||
(6)
|
Berdasarkan perbaikan yang disampaikan Pelaku Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH, Kepala
CDK sesuai dengan kewenangannya paling lama 3 (tiga) hari kerja memberikan
persetujuan dokumen proposal teknis.
|
|||||
(7)
|
Dalam hal pemohon tidak melakukan perbaikan proposal teknis sampai
dengan batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Direktur, Kepala Dinas Provinsi atau Kepala KPH sesuai dengan kewenangannya
menerbitkan surat penolakan.
|
|||||
(8)
|
Dalam hal pembuatan dokumen proposal teknis untuk permohonan IUIPHHK
yang berlokasi di dalam areal IUPHHK, wajib dilengkapi dengan sertifikat PHPL
berpredikat Baik yang masih berlaku paling sedikit 1 (satu) tahun.
|
|||||
|
|
|||||
Bagian Kelima Penyelesaian
Permohonan
|
||||||
Pasal 15
|
||||||
Berdasarkan permohonan dan persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
12, Direktur Jenderal atau
Kepala Dinas Provinsi sesuai kewenangannya mengakses atau mengunduh
permohonan dan persyaratan dari sistem elektronik yang terintegrasi.
|
||||||
Pasal 16
|
||||||
(1)
|
Berdasarkan hasil akses dan unduhan surat permohonan dan dokumen
persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Direktorat
Jenderal atau Dinas Provinsi
sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap Pernyataan Komitmen
dan Persyaratan Teknis.
|
|||||
(2)
|
Pelaksanaan pengawasan terhadap persyaratan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
|||||
|
|
a.
|
Melakukan identifikasi dan pemilahan dokumen kelengkapan
persyaratan permohonan;
|
|||
|
|
b.
|
melakukan pemeriksaan legalitas dokumen; dan
|
|||
|
|
c.
|
Melakukan penelitian dokumen atau evaluasi terhadap
substansi persyaratan permohonan.
|
|||
(3)
|
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
|
|||||
|
|
a.
|
telah memenuhi kelengkapan persyaratan dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; atau
|
|||
|
|
b.
|
telah memenuhi kelengkapan persyaratan tetapi substansinya tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Permohonan yang telah memenuhi persyaratan dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan- undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, apabila
memenuhi kelengkapan persyaratan Komitmen dan persyaratan teknis.
|
|||||
Pasal 17
|
||||||
(1)
|
Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(3), Direktur Jenderal melaporkan kepada Menteri dalam bentuk Dokumen
Elektronik melalui sistem elektronik yang terintegrasi atau surat secara manual.
|
|||||
(2)
|
Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal paling lama 2
(dua) hari menyampaikan hasil pengawasan kepada Lembaga OSS dalam bentuk
Dokumen Elektronik melalui sistem elektronik yang terintegrasi, berupa
Notifikasi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
a.
|
persetujuan dalam hal permohonan telah memenuhi persyaratan dan telah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
|
|||
|
|
b.
|
penolakan dalam hal permohonan telah memenuhi persyaratan tetapi
substansinya tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
Pasal 18
|
||||||
(1)
|
Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(3), paling lama 1 (satu) hari kerja Kepala Dinas Provinsi melaporkan hasil
pengawasan kepada Gubernur.
|
|||||
(2)
|
Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) hari
kerja, menyampaikan hasil pengawasan kepada Lembaga OSS dalam bentuk Dokumen
Elektronik melalui sistem elektronik yang terintegrasi, berupa Notifikasi
sebagai berikut:
|
|||||
|
|
a.
|
persetujuan dalam hal permohonan telah memenuhi persyaratan dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
|
|||
|
|
b.
|
penolakan dalam hal permohonan telah memenuhi persyaratan tetapi tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
Pasal 19
|
||||||
Berdasarkan Notifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) atau
Pasal 18, Lembaga OSS menerbitkan IUIPHH atau menolak permohonan.
|
ANGKA KONVERSI DARI METER KUBIK (M³) KE TON Di bawah ini adalah besaran angka konversi dari meter kubik ke ton sesuai Surat Edaran Nomor : SE.7/VI-BIKPHH/2010 Tanggal 4 Mei 2010 : kayu Campuran : 1 ton = 1,052 M³ atau 1 M³ = 0,95 ton Kayu Pinus : 1 ton = 0,985 M³ atau 1 M³ = 1,02 ton Kayu Bakau : 1 ton = 0,83 M³ atau 1 M³ = 1,2 ton
Komentar
Posting Komentar