Alkisah di rumah tua OM
NUNJA (sekarang RABUNI), yang merupakan rumah tua
Marga MATJORA yang ada di Desa Nakarhamto, hiduplah seorang nenek
yang bernama “ ARNIMA’A “. Adapun asal usul nenek ini tidak diketahui dengan
pasti namun nenek tersebut mempunyai seorang anak piara perempuan yang hidup
bersamanya setiap hari.
Pekerjaan sehari – hari si nenek
adalah anyam menganyam berupa tikar, nyiru dan keperluan rumahtangga lainnya.
Kebiasaan nenek Arnima’a dalam hal masak memasak terbilang cukup aneh, karena
hanya dengan 7 (tujuh) butir padi namun tempat yang dipakai masak akan terisi
menjadi penuh. Suatu hari, karena keasyikan dalam anyam menganyam nenek
Arnima’a menyuruh anak piaranya untuk mengambil 7 (tujuh) butir padi untuk
dimasak. Anak tersebut menuju bising (tempat penyimpanan padi
terbuat dari bambu yang dianyam) dan mengambil 7 (tujuh) butir padi, akan
tetapi keraguan muncul dalam hati si anak, dalam hatinya bertanya – tanya masa dengan
7 (tujuh) butir padi kita bisa makan??? Karena tidak yakin maka tanpa pikir
panjang si anak mengambil 1 (satu) tempurung padi lalu ia pun memasak. Ketika
maskannya mendidih, nasi yang ada dalam belanga membumbung tinggi dan meluap
memenuhi dapur, pekarangan sekitar hingga ke jalan – jalan yang ada. Melihat
keajaiban yang terjadi, si anak menjadi panik dan takut sehingga ia lari
meninggalkan si nenek dan pulang kembali ke kampung halamannya yang tidak
terlalu jauh yakni Desa Yatoke. Sesampainya disana iapun menceritakan peristiwa
yang dialaminya kepada keluarganya, namun karena merekapun kurang yakin dengan
cerita anaknya sehingga mereka membawa kembali anaknya ke Desa Nakarhamto
sekaligus ingin mengetahui apakah cerita si anak tersebut benar terjadi. Ketika
tiba di Desa Nakarhamto, mereka terkejut dan heran karena apa yang di ceritakan
anak mereka itu memang benar – benar terjadi dan mereka menyaksikannya sendiri.
Melihat kenyataan yang ada, muncullah kecurigaan dari mereka bahwa Nenek
Arnima’a adalah seorang Suanggi (setan). Dan tanpa berpikir
panjang serta melupakan kebaikan nenek Arnima’a, merekapun menangkap si nenek
lalu kaki tangannya diikat dengan tali rotan dan dimasukan dalam bero (perahu
kecil) lalu mereka mendayungnya menuju nonia dyoo’na (mulut bakul) dan menenggelamkannya
disana.
Walaupun nenek Arnima’a telah tiada
tetapi pada saat tertentu seringkali ia menampakan diri kepada penduduk Desa Nakarhamto
yang sementara melaut. Terkadang ada yang menemui nya di dasar laut tempat
dimana ia dibuang dan penduduk Desa Nakarhamto telah menandai kebiasaan dari si
nenek. Ketika mereka mencari ikan dengan cara menyelam dan tiba – tiba melihat
si nenek dalam posisi duduk bersila menghadap ke darat, maka hasil tangkapan
yang mereka peroleh akan berlimpah, karena banyak sekali ikan di sekitar si
nenek. Tetapi apabila si nenek duduk bersila menghadap ke laut, maka yang
terjadi adalah sebaliknya. Jangankan dapat, ikan seekorpun tidak akan ada di
sekitar tempat tersebut. Hal ini mengakibatkan sampai sekarang tradisi atau
kebiasaan penduduk Desa Nakarhamto yang hendak mengail ikan di sekitar lokasi
pembuangan si nenek apabila mendapat ikan pertama hasil tangkapannya maka ikan
tersebut harus diberikan kepada Nenek Arnima’a. Mereka meyakini bahwa dengan
begitu maka hasil tangkapan berikutnya akan melimpah ruah. Hal lain yang
seringkali terjadi juga bahwa apabila penduduk Nakarhamto yang hendak bepergian
melewati Noka - noka si nenek sering melambaikan tangan kepada mereka.
Entah ini mitos atau
bukan, tetapi penduduk Desa Nakarhamto tetap meyakini dan percaya akan cerita
tersebut sampai sekarang ini. SEKIAN
Sumber : Cerita Turun Temurun Orang
Nakarhamto
Ditulis
Oleh : Netaniel Lorwens (Sekretaris
Desa Nakarhamto)
Komentar
Posting Komentar