Sabtu, 11 Mei 2019

BEBERAPA PENGERTIAN DASAR MENURUT P.11/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 TENTANG IHMB & RK PADA UPHHK HTI :


1.     Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI, yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
2.     Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri yang selanjutnya disingkat RKUPHHK-HTI adalah rencana kerja untuk seluruh areal kerja IUPHHK-HTI untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahunan, antara lain memuat aspek kelestarian hutan, kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat.
3.     Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri yang selanjutnya disingkat RKTUPHHK-HTI adalah rencana kerja dengan jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun berdasarkan RKUPHHK-HTI.
4.     Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri yang selanjutnya disingkat BKUPHHK-HTI adalah rencana kerja yang berlaku paling lama 12 (dua belas) bulan dan diberikan kepada pemegang IUPHHK-HTI yang baru diterbitkan izinnya dan belum memiliki RKUPHHK-HTI.
5.     Deliniasi adalah penilaian atau seleksi visual dan pembedaan wujud gambaran pada berbagai data dan informasi keadaan faktual lapangan atau areal hutan dengan jalan menarik garis batas.
6.     Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala yang selanjutnya disingkat IHMB adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock), yang dilaksanakan secara berkala 1 (satu) kali dalam 10 (sepuluh) tahun dimana khusus untuk hutan tanaman dilakukan pada hutan alam bekas tebangan yang akan dilakukan penebangan dengan sistem silvikultur bukan THPB.
7.     Inventarisasi Hutan adalah kegiatan pencatatan, pengukuran dan taksasi volume pohon yang akan ditebang di hutan tanaman dalam rangka pembukaan wilayah dan/atau penyiapan lahan.
8.     Timber Cruising adalah kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan terhadap pohon yang direncanakan akan ditebang, pohon inti, pohon yang dilindungi, permudaan, data lapangan lainnya, untuk mengetahui jenis, jumlah, diameter, tinggi pohon, serta informasi tentang keadaan lapangan/lingkungan, yang dilaksanakan dengan intensitas tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
9.     Laporan Hasil Cruising yang selanjutnya disingkat LHC adalah hasil pengolahan data pohon dari pelaksanaan kegiatan Timber Cruising pada petak kerja tebangan yang memuat nomor pohon, jenis, diameter, tinggi pohon bebas cabang, dan taksiran volume kayu.
10.    Pembukaan Wilayah Hutan adalah kegiatan penyediaan prasarana jalan dan bangunan lainnya untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan IUPHHK-HTI dalam hutan tanaman pada hutan produksi.
11.    Penyiapan Lahan adalah kegiatan persiapan, pembersihan lahan dan pengolahan lahan untuk keperluan penanaman termasuk pemanfaatan hasil hutannya.
12.    Pembersihan Lahan adalah pekerjaan pembersihan areal untuk membuka lahan dengan cara menebang/membersihkan semak belukar, alang-alang, pohon-pohon dan tunggak, yang dilakukan tanpa pembakaran.
13.    Tanaman  Pokok  adalah  tanaman  untuk  tujuan produksi hasil hutan berupa kayu perkakas/pertukangan dan/atau bukan kayu perkakas/pertukangan.
14.    Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang yang selanjutnya disingkat RPHJP adalah rencana pengelolaan hutan untuk seluruh wilayah kerja KPH dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun.
15.    Sarana dan Prasarana adalah alat dan bangunan yang dipergunakan untuk mendukung kegiatan IUPHHK-HTI.
16.    Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan hutan produksi lestari.
17.    Direktur adalah direktur yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang usaha hutan produksi.
18.    Dinas Kabupaten/Kota adalah unit kerja yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan di Kabupaten/Kota.
19.    Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UPT adalah unit pelaksana teknis yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.
20.    Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
21.    Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang selanjutnya disingkat GANISPHPL adalah petugas perusahaan pemegang izin di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi lestari yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan produksi lestari sesuai dengan kualifikasinya yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal.
22.  Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang selanjutnya disingkat WASGANISPHPL adalah Pegawai Kehutanan yang memiliki kompetensi di bidang pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan hutan produksi lestari sesuai dengan kualifikasinya yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Balai atas nama Direktur Jenderal.
23.    GANISPHPL Perencanaan Hutan yang selanjutnya disingkat GANISPHPL-CANHUT adalah GANISPHPL yang memiliki kompetensi dalam kegiatan inventarisasi hutan menyeluruh secara berkala (IHMB), timber cruising, penyusunan LHC petak kerja tebangan tahunan, LHC blok kerja tebangan tahunan, pengukuran berkala pada Petak Ukur Permanen (PUP), penyusunan RKUPHHK-HA atau RKUPHHK Restorasi Ekosistem, atau RKUPHHK-HTI atau RKUPHHK-HTR atau RKUPHHBK serta penyusunan Usulan RKT dan pembuatan peta areal kerja dalam rangka penyiapan pemanfaatan hutan produksi pada hutan alam atau hutan tanaman.
24.  Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Perencanaan Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat WASGANISPHPL-CANHUT adalah WASGANISPHPL yang memiliki kompetensi GANISPHPL-CANHUT serta mempunyai tugas dan wewenang mengawasi, memeriksa, mengevaluasi, dan melaporkan hasil kerja GANISPHPL-CANHUT.
25.    Gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa.
26.    Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya.
27.    Fungsi Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang berfungsi melindungi ketersediaan air, kelestarian keanekaragaman hayati, penyimpan cadangan karbon penghasil oksigen, penyeimbang iklim yang terbagi menjadi fungsi lindung Ekosistem Gambut dan fungsi budidaya Ekosistem Gambut.


Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.11/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019

Kamis, 09 Mei 2019

“ NENEK ARNIMA’A DAN TUJUH BUTIR PADI “ (Cerita Rakyat Orang Nakarhamto)



Alkisah di rumah tua OM NUNJA (sekarang RABUNI), yang merupakan rumah tua Marga MATJORA yang ada di Desa Nakarhamto, hiduplah seorang nenek yang bernama “ ARNIMA’A “. Adapun asal usul nenek ini tidak diketahui dengan pasti namun nenek tersebut mempunyai seorang anak piara perempuan yang hidup bersamanya setiap hari.
Pekerjaan sehari – hari si nenek adalah anyam menganyam berupa tikar, nyiru dan keperluan rumahtangga lainnya. Kebiasaan nenek Arnima’a dalam hal masak memasak terbilang cukup aneh, karena hanya dengan 7 (tujuh) butir padi namun tempat yang dipakai masak akan terisi menjadi penuh. Suatu hari, karena keasyikan dalam anyam menganyam nenek Arnima’a menyuruh anak piaranya untuk mengambil 7 (tujuh) butir padi untuk dimasak. Anak tersebut menuju bising (tempat penyimpanan padi terbuat dari bambu yang dianyam) dan mengambil 7 (tujuh) butir padi, akan tetapi keraguan muncul dalam hati si anak, dalam hatinya bertanya – tanya masa dengan 7 (tujuh) butir padi kita bisa makan??? Karena tidak yakin maka tanpa pikir panjang si anak mengambil 1 (satu) tempurung padi lalu ia pun memasak. Ketika maskannya mendidih, nasi yang ada dalam belanga membumbung tinggi dan meluap memenuhi dapur, pekarangan sekitar hingga ke jalan – jalan yang ada. Melihat keajaiban yang terjadi, si anak menjadi panik dan takut sehingga ia lari meninggalkan si nenek dan pulang kembali ke kampung halamannya yang tidak terlalu jauh yakni Desa Yatoke. Sesampainya disana iapun menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada keluarganya,  namun karena merekapun kurang yakin dengan cerita anaknya sehingga mereka membawa kembali anaknya ke Desa Nakarhamto sekaligus ingin mengetahui apakah cerita si anak tersebut benar terjadi. Ketika tiba di Desa Nakarhamto, mereka terkejut dan heran karena apa yang di ceritakan anak mereka itu memang benar – benar terjadi dan mereka menyaksikannya sendiri. Melihat kenyataan yang ada, muncullah kecurigaan dari mereka bahwa Nenek Arnima’a adalah seorang Suanggi (setan). Dan tanpa berpikir panjang serta melupakan kebaikan nenek Arnima’a, merekapun menangkap si nenek lalu kaki tangannya diikat dengan tali rotan dan dimasukan dalam bero (perahu kecil) lalu mereka mendayungnya menuju nonia dyoo’na (mulut bakul) dan menenggelamkannya disana.
Walaupun nenek Arnima’a telah tiada tetapi pada saat tertentu seringkali ia menampakan diri kepada penduduk Desa Nakarhamto yang sementara melaut. Terkadang ada yang menemui nya di dasar laut tempat dimana ia dibuang dan penduduk Desa Nakarhamto telah menandai kebiasaan dari si nenek. Ketika mereka mencari ikan dengan cara menyelam dan tiba – tiba melihat si nenek dalam posisi duduk bersila menghadap ke darat, maka hasil tangkapan yang mereka peroleh akan berlimpah, karena banyak sekali ikan di sekitar si nenek. Tetapi apabila si nenek duduk bersila menghadap ke laut, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Jangankan dapat, ikan seekorpun tidak akan ada di sekitar tempat tersebut. Hal ini mengakibatkan sampai sekarang tradisi atau kebiasaan penduduk Desa Nakarhamto yang hendak mengail ikan di sekitar lokasi pembuangan si nenek apabila mendapat ikan pertama hasil tangkapannya maka ikan tersebut harus diberikan kepada Nenek Arnima’a. Mereka meyakini bahwa dengan begitu maka hasil tangkapan berikutnya akan melimpah ruah. Hal lain yang seringkali terjadi juga bahwa apabila penduduk Nakarhamto yang hendak bepergian melewati Noka - noka si nenek sering melambaikan tangan kepada mereka.
Entah ini mitos atau bukan, tetapi penduduk Desa Nakarhamto tetap meyakini dan percaya akan cerita tersebut sampai sekarang ini.  SEKIAN


 










Sumber          : Cerita Turun Temurun Orang Nakarhamto
Ditulis Oleh     : Netaniel Lorwens (Sekretaris Desa Nakarhamto)

Editor            : Solaiman Matjora

Jumat, 03 Mei 2019

PROSEDUR PERMOHONAN IZIN IPHHK DAN IPHHBK SESUAI PERMENLHK NOMOR P.1/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2019

 TATA CARA PERMOHONAN IZIN SERTA PERSYARATAN YANG HARUS DIPENUHI :


Menimbang
:
a.      
bahwa  berdasarkan  ketentuan  Peraturan Pemerintah  Nomor 24 Tahun 2018 telah ditetapkan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik;


b.      
bahwa berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.22/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 telah ditetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;


c.      
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 106, Pasal 107 ayat (4), Pasal 110 ayat (3), Pasal 111 ayat (3), Pasal 112 ayat (3), Pasal 113 ayat (3), Pasal 114 ayat (2), dan Pasal 115 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,  serta  Pemanfaatan  Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, telah ditetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.13/MENLHK-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan;


d.      
bahwa untuk percepatan dan peningkatan penanaman modal serta berusaha perlu mengganti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.13/MENLHK-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan;


     e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana  dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang   Nomor   5   Tahun   1990   tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990  Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);


2.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);


3.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);


4.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4076);


5.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013  Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432);


6.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014  Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);


7.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);


8.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601);


9.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan  Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan  dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);


10.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);


11.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara  Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014  Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5506);


12.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887);


13.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215);


14.
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang  Penanaman  Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 97);


15.
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015  Nomor 17);


16.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/MENHUT- II/2014 tentang Pengelolaan dan Pemantauan  Lingkungan Kegiatan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 508);


17.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun  2015 Nomor 713);


18.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 32/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1025);


19.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor                                                P.42/MENLHK-SETJEN/2015                                                tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal  dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1247), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.58/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2016               tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup  dan Kehutanan Nomor P.42/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1063);


20.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor                                                P.43/MENLHK-SETJEN/2015                                                tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal  dari Hutan Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1248) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.60/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup  dan Kehutanan Nomor P.43/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1064);


21.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.30/MENLHK/SETJEN/PHPL.3/3/2016 tentang Penilaian Kinerja Produksi Lestari  dan  Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan, atau pada Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 976);


22.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/PHPL.3/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 976);


23.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.85/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2016 tentang Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Hasil Budidaya yang Berasal dari Hutan Hak (Berita Negara  Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1765) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.48/MENLHK/SETJEN/KUM.1/ 8/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.85/MENLHK/SETJEN/KUM-1/11/2016                                                tentang Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Hasil Budidaya yang Berasal dari Hutan Hak (Berita Negara  Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1130);


24.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M- IND/PER/7/2017 tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi untuk Klasifikasi Usaha Industri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1089);


25.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Pelayanan Perizinan Terintegrasi secara Elektronik Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 927);
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN

:
PERATURAN  MENTERI   LINGKUNGAN   HIDUP   DAN KEHUTANAN TENTANG IZIN  USAHA  INDUSTRI  PRIMER HASIL HUTAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1.
Perizinan Berusaha adalah persetujuan yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan diberikan dalam bentuk persetujuan yang dituangkan dalam bentuk surat/keputusan atau pemenuhan persyaratan (checklist).
2.
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektonik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS adalah perizinan berusaha yang diberikan oleh Menteri/Kepala Lembaga, gubernur dan bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
3.
Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah Lembaga Pemerintah non Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
4.
Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah identitas Pelaku Usaha  dalam  rangka  pelaksanaan kegiatan berusaha sesuai bidangnya.
5.
Pelaku Usaha adalah perseorangan atau  non perseorangan  yang  melakukan   usaha   dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
6.
Izin  Usaha  adalah   izin   yang   diterbitkan   oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri atau gubernur, setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran dan untuk memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen.
7.
Komitmen adalah pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.
8.
Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau  sejenisnya,  yang  dapat  dilihat,  ditampilkan, dan/atau  didengar   melalui    computer atau sistem elektronik,  tetapi  tidak  terbatas  pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,  huruf,  tanda,  angka,  kode  akses,  simbol atau perforasi yang  memiliki  makna  atau  arti  atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
9.
Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan yang selanjutnya disingkat IUIPHH adalah izin usaha komersial atau izin operasional yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk mengolah hasil hutan menjadi barang jadi atau barang setengah jadi, yang dapat berupa Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) atau Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK).
10

Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IUIPHHK adalah izin untuk mengolah kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi  pada  lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang.
11.
Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat IUIPHHBK adalah izin untuk mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi pada lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang.
12.
Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi  atau barang jadi.
13.
Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang  selanjutnya disingkat IPHHBK adalah pengolahan hasil hutan berupa bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
14.
Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu Skala Kecil adalah IPHHBK yang mempekerjakan paling banyak 19 (sembilan belas) orang tenaga kerja dan memiliki nilai investasi kurang dari 1 (satu) milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
15.
Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu Skala Menengah adalah IPHHBK yang memenuhi ketentuan mempekerjakan paling banyak 19 (sembilan belas) orang tenaga kerja dan memiliki nilai investasi paling sedikit 1 (satu) milyar rupiah atau mempekerjakan paling sedikit 20 (dua puluh) orang tenaga kerja dan memiliki nilai investasi paling banyak 15 (lima belas) milyar rupiah.
16.
Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu Skala Besar adalah IPHHBK yang mempekerjakan paling sedikit 20 (dua puluh) orang tenaga kerja dan memiliki nilai investasi lebih dari 15 (lima belas) milyar rupiah.
17.
Kapasitas Produksi adalah jumlah atau kemampuan produksi paling banyak setiap tahun yang diizinkan berdasarkan izin dari pejabat yang berwenang.
18.
Jenis Industri adalah bagian suatu cabang industri yang mempunyai ciri khusus yang sama dan/atau hasilnya bersifat akhir dalam proses produksi.
19.
Mesin Utama Produksi adalah mesin-mesin  produksi pada jenis industri tertentu yang berpengaruh langsung terhadap kapasitas produksi.
20.
Perluasan IUIPHH adalah peningkatan  kapasitas produksi dan/atau penambahan jenis industri dan/atau penambahan ragam produk yang mengakibatkan penambahan kebutuhan bahan baku.
21.
Perubahan Komposisi Ragam Produk adalah  penambahan dan/atau pengurangan kapasitas produksi dari ragam produk yang telah ditetapkan dalam IUIPHH, atau penambahan ragam produk baru sepanjang ragam produk baru merupakan simpul/bagian dari rangkaian proses produksi ragam produk yang telah ditetapkan dalam IUIPHH serta tidak menambah total kapasitas produksi dan total kebutuhan bahan baku.
22.
Perubahan Penggunaan Mesin Utama Produksi adalah penggantian dan/atau penambahan mesin dan/atau pengurangan mesin pada jenis industri dan  ragam  produk yang telah ditetapkan dalam IUIPHH dengan tujuan untuk efisiensi, peremajaan, diversifikasi bahan baku, serta untuk pengolahan limbah/sisa produksi,  tanpa menambah kebutuhan bahan baku dan kapasitas produksi.
23.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IUPHHK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu yang dapat berupa IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, dan IUPHHK-HTR.
24.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.
25.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri yang selanjutnya disingkat IUPHHK- HTI adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi  melalui  kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
26.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat IUPHHK- HTR adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada kelompok masyarakat atau perorangan dengan menerapkan teknik budidaya tanaman yang sesuai tapaknya untuk menjamin kelestarian sumber daya  hutan.
27.
Hutan Hak/Hutan Rakyat adalah hutan yang  berada  pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
28.
Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.
29.
Pengelola Hutan adalah hak pengelolaan hutan yang didapat berdasarkan penugasan yang ditetapkan oleh Menteri sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan.
30.
Limbah Pemanenan adalah semua jenis kayu sisa pembagian batang berupa tunggak, kayu cacat/busuk hati/gerowong dengan reduksi di atas 40% (empat puluh persen), cabang, dan ranting yang tertinggal di hutan.
31.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHBK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan, perlindungan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
32.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari hutan tanaman pada hutan produksi  melalui  kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran hasil.
33.
Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan produksi yang dapat  berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu.
34.
Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
35.
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan  tanah  tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.
36.
Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang Pelaku Usaha yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh Izin Usaha dan/atau Kegiatan.
37
Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah,  memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
38.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup  dan kehutanan.
39.
Gubernur adalah Kepala Daerah yang memimpin pelaksanaan penyelenggaran urusan pemerintahan  daerah provinsi yang menjadi kewenangannya.
40.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang pengelolaan hutan produksi lestari.
41.
Direktur adalah Direktur yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang pengolahan dan pemasaran hasil hutan.
42.
Dinas Provinsi adalah dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Provinsi.
43.
Balai adalah unit pelaksana teknis yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.
44.
Cabang Dinas Kehutanan Provinsi yang selanjutnya disebut CDK adalah satuan organisasi yang secara langsung melaksanakan kegiatan teknis bidang pemanfaatan hasil hutan atau dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas pokok dinas.


Pasal 2 Pengaturan
IUIPHH bertujuan untuk:
a.
Memberikan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam pengurusan perizinan berusaha; dan
b.
Memberikan kemudahan dan kepastian bagi Pelaku Usaha dalam melaksanakan usaha.
Pasal 3
Ruang Lingkup Pengaturan Ruang lingkup pengaturan IUIPHH, terdiri atas:
a.
tata cara permohonan izin;
b.
pemenuhan Komitmen;
c.
Permohonan perluasan dan perubahan (addendum) IUIPHH;
d.
realisasi pembangunan atau perluasan Industri Primer Hasil Hutan (IPHH);
e.
masa berlaku IUIPHH;
f.
perubahan komposisi dan perubahan penggunaan mesin utama;
g.
pengawasan dan pengendalian; dan
h.
sanksi.


BAB II TATA CARA PERMOHONAN IZIN
Bagian Kesatu Umum
Paragraf 1 IPHH
Pasal 4
(1)
IPHH terdiri atas:


a.
IPHHK; dan


b.
IPHHBK.
(2)
IPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas Jenis Industri:


a.
Penggergajian Kayu dan/atau Pengawetan Kayu dengan ragam produk yaitu kayu gergajian dan/atau palet kayu;


b.
Panel Kayu dengan ragam produk yaitu veneer, kayu lapis/plywood, Laminated Veneer Lumber (LVL), plywood faced bamboo, barecore, blockboard, particle board, fibreboard dan/atau jenis panel kayu lainnya;


c.
Wood Chips dengan ragam produk yaitu serpih kayu; dan


d.
Bioenergi berbasis kayu dengan ragam produk yaitu wood pellet, arang kayu, biofuel, biogas dan/atau bioenergi lainnya.
(3)
IPHHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas Jenis Industri:


a.
Pengawetan Rotan, Bambu, dan sejenisnya;


b.
Pengolahan Rotan, Bambu, dan sejenisnya;


c.
Pengolahan Pati, Tepung, Lemak dan sejenisnya;


d.
Pengolahan Getah, Resin, dan sejenisnya;


e.
Pengolahan Biji-bijian;


f.
Pengolahan Madu;


g.
Pengolahan Nira;


h.
Minyak Atsiri; dan/atau


i
Industri Karet Remah (Crumb Rubber).
(4)
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) atas Jenis Industri dan/atau ragam produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
IPHH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan bahan baku dari sumber yang sah dan dapat terintegrasi dengan industri lanjutan.
(6)
Bahan baku hasil hutan kayu dari sumber yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), untuk  IPHHK dapat berasal dari IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK- HTR, IUPHKm pada hutan produksi, HPHD pada hutan produksi, Pengelola Hutan, Hutan Hak/Hutan Rakyat hasil budidaya, Hutan Adat dengan fungsi produksi, perkebunan, dan/atau Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)
Bahan baku hasil hutan bukan kayu  dari  sumber  yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), untuk IPHHBK dapat berasal dari IUPHHBK, IUPHHK yang berupa produk ikutan, IUPHHBK-HT, Pengelola Hutan, Hasil Kegiatan Rehabilitasi, Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu, IUPHKm, HPHD, dan/atau Hutan Adat sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang- undangan.
(8)
IPHHK dapat menggunakan bahan baku kayu olahan setengah jadi dari IPHHK lain yang sah.
(9)
Industri lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), wajib memperoleh Izin Usaha dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.







Paragraf 2  IUIPHH
Pasal 5
(1)
Setiap kegiatan usaha IPHH wajib memiliki IUIPHH.
(2)
Jenis IUIPHH terdiri atas:


a.
IUIPHHK; dan


b.
IUIPHHBK.
(3)
IUIPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terbagi berdasarkan kapasitas produksi, yaitu:


a.
IUIPHHK dengan Kapasitas Produksi 6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun atau lebih; dan


b.
IUIPHHK dengan Kapasitas Produksi sampai dengan kurang dari 6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun.







(4)
IUIPHHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terbagi berdasarkan skala industri, yaitu:


a.
IUIPHHBK Skala Kecil;


b.
IUIPHHBK Skala Menengah; dan


c.
IUIPHHBK Skala Besar.
Pasal 6
(1)
IUIPHH dapat diberikan kepada pemegang IUPHHK, IUPHHBK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi pada areal kerjanya.
(2)
Dalam hal IUIPHHK pada areal kerja IUPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan kepada IUPHHK yang bersertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dengan Predikat Baik, kecuali jenis bioenergi berbasis kayu tanaman berdaur pendek kurang dari 5 (lima) tahun.
(3)
Pengolahan bahan baku kayu atau hasil hutan  bukan  kayu pada IUIPHH dalam areal kerjanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bersumber dari IUPHHK, IUPHHBK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal IUIPHHK pada areal IUPHHK-HA, dapat mengolah kayu hasil budidaya IUPHHK-HT/HTR, IUPHKm pada Hutan Produksi atau HPHD pada Hutan Produksi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing kayu produksi hutan tanaman.
(5)
Dalam hal IUIPHHK pada areal IUPHHK-HT/HTR, IUPHKm pada Hutan Produksi atau HPHD pada Hutan Produksi, hanya mengolah kayu hasil budidaya sesuai dengan sistem silvikultur yang ditetapkan.
(6)
Dalam hal IUIPHHBK pada areal IUPHHBK, dapat mengolah hasil hutan bukan kayu yang berupa  hasil  hutan ikutan dari IUPHHK, IUPHKm pada Hutan Produksi atau HPHD pada Hutan Produksi.
Bagian Kedua Kewenangan Pemberian IUIPHH
Pasal 7
(1)
Pemberian IUIPHH oleh Menteri yang penerbitannya dilakukan melalui Lembaga OSS, terdiri atas:


a.
IUIPHHK Kapasitas Produksi 6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun atau lebih;


b.
IUIPHHK pada areal IUPHHK atau Pengelola Hutan atau IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi;


c.
IUIPHHK jenis industri bioenergi ragam produkbiofuel dan/atau biogas; dan


d.
IUIPHHBK pada areal IUPHHK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan produksi atau  HPHD  pada  hutan produksi.
(2)
Pemberian IUIPHH oleh Gubernur yang penerbitannya dilakukan melalui Lembaga OSS, terdiri atas:


a.
IUIPHHK Kapasitas Produksi kurang dari 6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun;


b.
IUIPHHBK; dan


c.
IUIPHHBK pada areal IUPHHBK.
(3)
Pemberian IUIPHH oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:


a.
IUIPHHK Kapasitas Produksi kurang dari 2.000 (dua ribu) meter kubik per tahun;


b.
IUIPHHBK skala kecil dan menengah; atau


c.
IUIPHHBK skala kecil dan menengah pada areal IUPHHBK, dapat didelegasikan kepada Bupati/Wali Kota melalui Tugas Pembantuan.
(4)
Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah kabupaten/kota yang ditunjuk oleh Bupati/Wali Kota.
Bagian Ketiga Tata Cara Permohonan IUIPHH
Pasal 8
(1)
Permohonan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, diajukan oleh:


a.
Pelaku Usaha perseorangan; atau


b.
Pelaku Usaha non perseorangan.
(2)
Pelaku Usaha perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang perorangan penduduk Indonesia yang cakap untuk bertindak dan melakukan perbuatan hukum.
(3)
Pelaku Usaha non perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:


a.
Koperasi;


b.
BUM Desa;


c.
BUMD;


d.
BUMN;


e.
BUMS Indonesia; atau


f.
Pengelola Hutan yang telah menerapkan PPK-BLUD.
(4)
Dalam hal IUIPHHK jenis penggergajian kayu dan/atau bioenergi ragam produk arang kayu Kapasitas Produksi sampai dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per tahun atau IUIPHHBK Skala Kecil, pemohon yang dapat mengajukan terdiri atas:


a.
Perseorangan;


b.
Koperasi; atau


c.
BUM-Desa.
Pasal 9
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 merupakan Pelaku Usaha yang telah memperoleh NIB yang diterbitkan oleh Lembaga OSS.
Pasal 10
(1)
Permohonan IUIPHH sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 8 diajukan kepada Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya melalui Lembaga OSS dilengkapi persyaratan.
(2)
Penyampaian permohonan dan persyaratan permohonan kepada  Lembaga  OSS  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
(3)
Format  permohonan  sebagaimana   dimaksud   pada   ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Keempat Persyaratan Permohonan
Pasal 11
Persyaratan  permohonan  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 10 ayat (1) berupa:


a.
Pernyataan Komitmen; dan


b.
Persyaratan Teknis.
Pasal 12
(1)
Pernyataan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk melengkapi:


a.
Izin Lokasi;


b.
Izin Lingkungan dan dokumen AMDAL atau UKL-UPL; dan/atau


c.
Izin Mendirikan Bangunan.
(2)
Pernyataan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat(1)merupakan            pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan Izin Usaha (IMB).
(3)
Dalam hal pemohon telah memiliki prasarana industri atau Industri Primer Hasil Hutan pada areal IUPHHK, IUPHHBK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi, persyaratan pernyataan Komitmen Izin Lokasi dan IMB tidak diperlukan.
(4)
Dalam hal permohonan IUIPHH pada areal IUPHHK atau IUPHHBK, persyaratan komitmen berupa Perubahan Izin Lingkungan IUPHHK atau IUPHHBK yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Dalam hal  pemohon  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 8 ayat (4) oleh perseorangan, koperasi masyarakat setempat, atau BUM-Desa setempat untuk IPHH  berlokasi pada areal Pengelola Hutan atau yang menggunakan bahan baku seluruhnya bersumber dari Hutan Hak/Hutan Rakyat hasil budidaya, persyaratan komitmen berupa Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b diganti dengan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL).
Pasal 13
(1)
Persyaratan Teknis sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal 11 huruf b berupa dokumen proposal teknis kegiatan usaha IPHH yang telah memperoleh persetujuan Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala KPH atau Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Dalam hal permohonan IUIPHH berada di dalam areal kerja IUPHH, Persyaratan Teknis disertai dengan Izin Lingkungan IUPHH yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Format dokumen proposal teknis kegiatan usaha IPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.














Pasal 14
(1)
Persyaratan Teknis berupa dokumen proposal teknis kegiatan usaha IPHHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), sebelum disampaikan kepada Lembaga OSS terlebih dahulu disampaikan kepada:


a.
Direktur, untuk:



1.
IPHHK Kapasitas Produksi 6.000 (enam ribu) meter kubik atau lebih;



2.
IPHHK yang berlokasi di dalam areal IUPHHK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi;



3.
IPHHBK di dalam areal IUPHHK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan  produksi  atau HPHD pada hutan produksi;









b.
Kepala Dinas Provinsi, untuk:



1.
IPHHK Kapasitas Produksi sampai dengan kurang dari 6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun;



2.
IPHHBK; dan



3.
IPHHBK di dalam areal IUPHHBK;


c.
Kepala KPH dalam hal Kepala Dinas Provinsi melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan dokumen proposal teknis kegiatan usaha IPHH  untuk IPHHK Kapasitas Produksi kurang dari 6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun untuk jenis industri bioenergi ragam produk arang kayu dan IPHHBK skala kecil dan menengah yang berlokasi di dalam areal pengelola hutan, IPHHK penggergajian kayu Kapasitas Produksi sampai dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per tahun dan IPHHBK skala kecil dan menengah di luar Pulau Jawa dan Pulau  Madura; atau


d.
Kepala CDK dalam hal Kepala Dinas Provinsi melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan dokumen proposal teknis kegiatan usaha IPHH  untuk IPHHK penggergajian kayu Kapasitas  Produksi sampai dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per tahun dan IPHHBK skala kecil dan menengah di Pulau Jawa dan Pulau Madura.
(2)
Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH atau Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya setelah menerima Dokumen Proposal Teknis, melakukan  pemeriksaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(3)
Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila tidak terdapat perbaikan, Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH atau Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan dokumen proposal teknis.
(4)
Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila terdapat perbaikan, Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH atau Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya menyampaikan hasil pemeriksaan dimaksud kepada pelaku usaha.
(5)
Pelaku Usaha wajib melakukan perbaikan dokumen proposal teknis dan menyampaikannya kembali kepada Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH atau Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya paling lama 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya hasil pemeriksaan.
(6)
Berdasarkan perbaikan yang disampaikan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur, Kepala Dinas Provinsi, Kepala KPH, Kepala CDK sesuai dengan kewenangannya paling lama 3 (tiga) hari kerja memberikan persetujuan dokumen proposal teknis.
(7)
Dalam hal pemohon tidak melakukan perbaikan proposal teknis sampai dengan batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur, Kepala Dinas Provinsi atau Kepala KPH sesuai dengan kewenangannya menerbitkan surat penolakan.
(8)
Dalam hal pembuatan dokumen proposal teknis untuk permohonan IUIPHHK yang berlokasi di dalam areal IUPHHK, wajib dilengkapi dengan sertifikat PHPL berpredikat Baik yang masih berlaku paling sedikit 1 (satu) tahun.


Bagian Kelima Penyelesaian Permohonan
Pasal 15
Berdasarkan permohonan dan persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12, Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Provinsi sesuai kewenangannya mengakses atau mengunduh permohonan dan persyaratan dari sistem elektronik yang terintegrasi.
Pasal 16
(1)
Berdasarkan hasil akses dan unduhan surat permohonan dan dokumen persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15,  Direktorat  Jenderal  atau Dinas Provinsi sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap Pernyataan Komitmen dan Persyaratan Teknis.
(2)
Pelaksanaan pengawasan terhadap persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:


a.
Melakukan identifikasi dan pemilahan dokumen kelengkapan persyaratan permohonan;


b.
melakukan pemeriksaan legalitas dokumen; dan


c.
Melakukan penelitian dokumen atau evaluasi terhadap substansi persyaratan permohonan.
(3)
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:


a.
telah memenuhi kelengkapan persyaratan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau


b.
telah memenuhi kelengkapan persyaratan tetapi substansinya tidak sesuai  dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Permohonan yang telah memenuhi persyaratan dan  sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan- undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, apabila memenuhi kelengkapan persyaratan Komitmen dan persyaratan teknis.
Pasal 17
(1)
Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Direktur Jenderal melaporkan kepada Menteri dalam bentuk Dokumen Elektronik melalui sistem elektronik yang terintegrasi atau surat secara manual.
(2)
Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud   pada   ayat (1), Direktur Jenderal paling lama 2 (dua) hari menyampaikan hasil pengawasan kepada Lembaga OSS dalam bentuk Dokumen Elektronik melalui sistem elektronik yang terintegrasi, berupa Notifikasi sebagai berikut:


a.
persetujuan dalam hal permohonan telah memenuhi persyaratan dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau


b.
penolakan dalam hal permohonan telah memenuhi persyaratan tetapi substansinya tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1)
Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), paling lama 1 (satu) hari kerja Kepala Dinas Provinsi melaporkan hasil pengawasan kepada Gubernur.
(2)
Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) hari kerja, menyampaikan hasil pengawasan kepada Lembaga OSS dalam bentuk Dokumen Elektronik melalui sistem elektronik yang terintegrasi, berupa Notifikasi sebagai berikut:


a.
persetujuan dalam hal permohonan telah memenuhi persyaratan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau


b.
penolakan dalam hal permohonan telah memenuhi persyaratan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Berdasarkan  Notifikasi   sebagaimana   dimaksud   dalam  Pasal 17 ayat (2) atau Pasal 18, Lembaga OSS menerbitkan IUIPHH atau menolak permohonan.

PERMEN LHK YANG SUDAH TIDAK BERLAKU

 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN HIDUP YANG DI HAPUS PASCA BERLAKUNYA UU CIPTA KERJA 1. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan ...